Tuesday, March 8, 2011

Aqidah Islam: Persoalan Tertinggi dalam Hidup

إنَّا كنَّا أَذَلَّ قَوْمٍ، فَأَعَزَّنَا اللهُ بِاِلإسْلَامِ، فَمَهْمَا نَطْلُبُ الْعِزَّ بِغَيْرِ مَا أَعَزَّنَا اللهُ أَذَلَّنَا اللهُ

Kami dulunya adalah kaum yang paling hina. Lalu Allah memuliakan kami dengan Islam. Kerana itu, jika kami mencari kemuliaan selain dari apa yang dengannya Allah telah muliakan kami maka Ia pasti menghinakan kami (HR al-Hakim; ia mensahihkannya dan disepakati oleh ad-Dzahabi).

Berbeza halnya dengan umat Islam saat ini. Meski akidah Islam tetap ada pada diri mereka, mereka masih mengalami kemunduran dalam berbagai bidang kehidupan. Padahal mereka sesungguhnya adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia (lihat QS Ali Imran [3]: 110).

Salah satu penyebabnya adalah akidah Islam yang saat ini mereka anut tidak lagi difungsikan sebagaimana mestinya. Hal tersebut setidaknya terlihat pada tiga hal. Pertama: hilangnya ikatan akidah dengan pemikiran dan sistem Islam sehingga akidah tersebut tidak produktif. Kedua: hilangnya hubungan antara akidah dengan Hari Kiamat. Akibatnya, umat tidak berupaya agar kehidupan mereka diarahkan untuk menggapai indahnya kehidupan syurga dan menjauhi pedihnya azab neraka dengan berlomba-lomba meraih redha Allah SWT. Ketiga: akidah Islam juga tidak lagi dijadikan sebagai pengikat ukhuwah di kalangan umat Islam sehingga mereka terpecah-belah dalam berbagai bangsa dan negara.

Lalu bagaimana caranya menjadikan umat Islam kembali bangkit dengan akidah Islam yang mereka anut?

Pertanyaan tersebut dapat ditemukan jawabannya dalam Kitab Nizhâm al-Islâm bab “Tharîq al-imân” karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, yang akan ditelaah lebih lanjut dalam tulisan ini.

Asas Kebangkitan

Bab “Tharîq al-Imân” dalam buku ini bermaksud menjelaskan bagaimana membangkitkan umat Islam dari kemudurannya dengan cara yang benar.

Kebangkitan yang hakiki menurut Syaikh An-Nabhani bukanlah berupa kemajuan dalam bidang ekonomi, teknologi, pendidikan, akhlak ataupun ketenteraan; namun pada peningkatan taraf berpikir. Pemikiran menjadi hal utama kerana ia yang menentukan baik-buruknya tingkah laku seseorang atau umat dalam menjalani kehidupannya. Selain itu, kemajuan dalam bidang-bidang di atas dapat dengan mudah diperoleh jika telah terjadi peningkatan taraf berpikir pada diri mereka.

Namun demikian, peningkatan taraf berpikir yang dimaksud bukan sekadar kerana adanya perubahan dan peningkatan apa yang difikirkan, misalnya dari sekadar memikirkan diri sendiri lalu meningkat dengan memikirkan keluarga atau umat manusia. Selama peningkatan taraf berfikir tersebut tidak dibangun oleh satu pandangan hidup tertentu maka perubahan yang dihasilkan tidak akan berkekalan kerana mudah berubah, tidak mampu memberikan ketenangan hidup serta tidak dapat memecahkan berbagai persoalan hidup manusia. Dengan demikian, orang tersebut tidak akan pernah bangkit.

Lalu pemikiran apa yang dapat membangkitkan manusia? An-Nabhani menjelaskan bahawa pemikiran tersebut adalah akidah, yakni pemikiran yang menyeluruh tentang:

a) Manusia, alam semesta dan kehidupan; apakah ketiganya diciptakan atau tidak.

b) Sebelum kehidupan; apakah ada pencipta atau tidak.

c) Setelah kehidupan; apakah ada Hari Kiamat atau tidak.

d) Hubungan manusia, alam dan kehidupan dengan sebelum dan setelah kehidupan; jika memang ada pencipta, bagaimana hubungannya dengan manusia di dunia; jika ada Hari kemudian, bagaimana hubungannya dengan kehidupan manusia di alam ini.

Dengan cakupan pemikiran yang mendasar (asâsiyyah) dan menyeluruh (syumûliyyah) tersebut, maka akan dapat dibangun di atasnya berbagai pemikiran cabang, yakni pemikiran dapat memberikan jawapan atas segala persoalan hidup manusia sehingga manusia dapat mengalami kemajuan dan kebangkitan.

Meski demikian, pemikiran yang menyeluruh tersebut belum menjamin bahawa kebangkitan yang dihasilkan adalah kebangkitan yang benar. Oleh kerana itu, pemikiran tersebut harus memenuhi dua kriteria. Pertama: harus sesuai dengan akal sehingga seseorang merasa puas dengan hujah (dalil) yang menjadi dasar pemikiran tersebut. Kedua: sesuai dengan fitrah manusia, yakni harus dapat memenuhi naluri beragama (gharîzah at-tadayyun) pada diri manusia, yakni adanya sifat lemah dan terbatas pada dirinya sehingga ia memerlukan pelindung dan pengatur. Dengan demikian maka pemikiran tersebut mampu memberikan ketenangan pada dirinya.

Agar pemikiran di atas dapat memuaskan akal dan memenuhi naluri beragama pada diri manusia maka untuk mencapainya harus ditempuh dengan proses berpikir secara jernih (al-fikr al-mustanîr). Proses berfikir yang jernih adalah proses berfikir yang mendalam (‘amîq) tentang suatu objek di atas, dikaitkan dengan apa yang ada di sekitarnya, dan yang berhubungan dengannya untuk mencapai hasil yang benar. Pentingnya proses berfikir jernih tersebut kerana pemikiran yang akan diperoleh tersebut akan menjadi asas kehidupan dan pandangan hidup sehingga ia memustahilkan adanya kesalahan sekecil apapun. Kesalahan hanya mungkin terjadi pada pemikiran cabang yang berasal dari asas tersebut.

Dalil Akidah

Kerana objek akidah di atas berkaitan dengan penetapan (itsbât) tentang hakikat sesuatu secara pasti maka ia pun harus dilandasi oleh dalil yang menyakinkan (qath’i) sehingga apa yang diyakini tersebut memang sesuai dengan realiti. Oleh kerana itu, akidah yang juga diistilahkan dengan iman didefinisikan sebagai at-tashdîq al-jâzim al-muthâbiq li al-wâqi’ (pembenaran secara pasti yang sesuai dengan realiti dan didasarkan pada dalil).

Syaikh an-Nabhani kemudian menjelaskan bagaimana akidah Islam dibuktikan dengan proses berfikir yang jernih dengan mengetengahkan dalil yang meyakinkan (qath’i). Pemikiran tentang alam, manusia dan kehidupan akan menghasilkan jawapan bahwa ketiganya terbatas dan lemah. Segala sesuatu yang lemah pasti memerlukan yang lain. Jika demikian maka ia pasti diciptakan. Dengan hujah demikian maka manusia pasti akan sampai pada kesimpulan akan adanya pencipta sekaligus pengatur ketiga hal tersebut. Dengan kata lain, ia telah sampai pada pemikiran tentang sebelum kehidupan dunia bahwa ketiganya diciptakan oleh Al-Khâliq.

Di dalam kitab Syakhsiyyah Islamiyyah I dan Naqd al-Isytirâkiyyah al-Marksiyyah dihuraikan lebih jauh mengenai dalil tentang kepastian adanya pencipta dan bantahan terhadap pandangan pihak-pihak yang menafikannya. Metod pembuktian seperti ini sejalan dengan metod al-Quran dalam menuntun manusia mengimani Allah SWT dengan cara mengajak mereka memikirkan hal-hal yang dapat diindera manusia di alam ini.

Syaikh An-Nabhani kemudian menjelaskan bahawa manusia hanya dapat berfikir pada hal-hal yang berada dalam jangkauan inderawinya. Dengan demikian, nama, zat dan sifat pencipta dan pengatur tersebut mustahil dapat diketahui oleh akal. Jika dipaksakan maka hanya akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang spekulatif sehingga tidak dapat diyakini kebenarannya. Padahal Islam mewajibkan akidah diyakini secara penuh dan tidak boleh ada keraguan sedikit pun. Selain itu, terdapat sejumlah nash yang mengharamkan untuk meyakini hal-hal yang bersifat spekulatif.

Di sinilah pentingnya pemahaman yang benar terhadap hakikat akal sehingga ia dapat ia difungsikan dengan tepat. Kekeliruan dalam memahami hakikat akal akan berakibat fatal dalam memahami dan meyakini persoalan yang berkenaan dengan akidah sebagaimana yang menimpa para mutakallimin. Kekeliruan tersebut bukan hanya telah menjadikan pembahasan akidah menjadi berjele-jele dan sulit, namun juga telah memberikan dampak yang serius bagi kemunduran umat Islam.

Untuk meyakini hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal maka diperlukan sumber lain yang dapat menjelaskan hal tersebut. Namun demikian, sumber tersebut tentu harus diyakini kebenarannya oleh akal manusia agar penjelasannya dapat diyakini. Untuk itulah diutus seorang rasul yang dibekali mukjizat sehingga setiap orang yang menyaksikan mukjizat tersebut dengan proses berfikir yang jernih yakin bahawa ia adalah utusan sang pencipta. Kehadiran seorang rasul juga merupakan cara untuk memenuhi naluri pada manusia untuk beribadah kepada pencipta tersebut dan adanya aturan yang mengatur dirinya yang penuh dengan kelemahan dan keterbatasan.

Di dalam Islam, rasul yang dimaksud adalah Nabi Muhammad saw dan mukjizatnya adalah al-Quran. Al-Quran juga berfungsi sebagai petunjuk kepada umat manusia tentang bagaimana menjalani kehidupan ini sesuai dengan aturan Penciptanya, Allah SWT. Penetapan bahwa al-Quran berasal dari Allah juga dengan menggunakan akal kerana terbukti tidak seorang pun yang dapat menandingi kehebatan gaya bahasanya baik oleh orang Arab hatta Nabi Muhammad saw. sekalipun.

Setelah terbentuk keyakinan terhadap al-Quran maka secara automatik seluruh isi kandungannya akan diyakini; seperti keimanan terhadap para nabi dan rasul sebelum Muhammad saw beserta kitab suci mereka, keimanan kepada Malaikat, dan keimanan pada kehidupan setelah dunia ini, yakni Hari Kiamat. Dengan demikian, terjawab sudah pemikiran tentang kehidupan setelah dunia, yakni akhirat, dan hubungannya dengan kehidupan manusia di dunia, iaitu bahawa manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dilakukan di dunia ini apakah sesuai dengan aturan Allah SWT atau tidak. Bagi yang taat diganjarkan syurga, sementara yang ingkar akan dibalas dengan siksa neraka.

Output

Kerana sifatnya yang mendasar dan menyeluruh serta diperoleh dengan proses berfikir yang jernih sehingga memberikan pembenaran yang pasti, maka akidah Islam merupakan landasan yang sangat kuat yang menghasilkan berbagai pemikiran cabang dalam seluruh kehidupan manusia. Dengan kata lain, akidah Islam merupakan landasan ideologi yang didefinisikan sebagai akidah yang diperoleh melalui proses berfikir yang melahirkan sistem kehidupan.

Dengan sifat tersebut, seseorang yang meyakini akidah Islam akan tunduk pada seluruh hukum-hukum yang bersumber dari akidah tersebut, yakni syariah Islam secara menyeluruh tanpa membezakan antara satu dengan yang lain seperti antara solat dan Khilafah, zakat dan jihad fi sabilillah, thaharah dan qishâsh, dll.

Seseorang yang meyakini akidah Islam yang benar akan menjadikan akidah tersebut sebagai dasar bagi seluruh pemikiran (’aqliyyah) dan kejiwaan (nafsiyyah)-nya. Ia pun akan berupaya untuk menerapkan seluruh hukum-hukum yang terpancar dari akidahnya dalam sebuah negara kerana metod kebangkitan hanya dapat diraih dengan menerapkan suatu pemerintahan yang berdasarkan akidah. Inilah yang terjadi pada bangsa Arab yang bangkit dengan Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw yang kemudian diterapkan pada suatu negara. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada Eropha dan Uni Soviet yang masing-masing bangkit dengan idea sekularisme dan materialisme yang diterapkan dalam pemerintahan—meski dua yang terakhir tidak menghasilkan kebangkitan yang benar, kerana akidah yang dijadikan asas adalah akidah yang salah. Namun yang pasti, hal tersebut menjadi bukti bahawa adanya akidah semata belum cukup untuk melahirkan kebangkitan tanpa adanya negara. Wallâhu a’lam bis shawâ

No comments:

Post a Comment

IKLAN