Thursday, September 10, 2009

Tauhid Asma' wa al-Sifat

Tauhid ini bermaksud beriman kepada nama-nama Allah dan sifat-sifatNya. Maksud beriman di sini ialah menyakini dengan pasti bahawa Allah mempunyai nama-nama dan sifat-sifat yang khusus bagiNyasebagaimana yang diterangkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah RasulNya saw menurut apa yang layak bagi Allah swt, tanpa ta'wil dan ta'thil, tanpa takyif, dan tamtsil, berdasarkan firman Allah Subhannahu wa Ta'ala : "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy-Syura: 11)

"Dia lah Yang menciptakan langit dan bumi; ia menjadikan bagi kamu pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri, dan menjadikan dari jenis binatang-binatang ternak pasangan-pasangan (bagi bintang-binatang itu); Dengan jalan Yang demikian dikembangkanNya (zuriat keturunan) kamu semua. tiada sesuatupun Yang sebanding Dengan (ZatNya, sifat-sifatNya, dan pentadbiranNya) dan Dia lah Yang Maha Mendengar, lagi Maha Melihat".


Allah menafikan ada sesuatu yang sebanding dengan diriNya atau menyerupaiNya. Ayat di atas menggambarkan Allah itu maha mendengar dan maha melihat. Adakah sama pendengaran dan pengelihatan Allah dengan manusia. Adakah Allah melihat dengan mata dan mendengar dengan telinga seperti manusia dan makhluk ciptaanNya. Maha suci Allah dari bersifat sedemikian. Namun Allah dengan pasti menetapkan bahwa Dia adalah Maha Mendengar dan Maha Melihat dan Dia diberi nama dan disifati dengan nama-nama dan sifat-sifat yang Dia berikan untuk diriNya dan dengan nama dan sifat yang disampaikan oleh RasulNya.

Tujuan Allah menyifati diriNya dengan sifat yang kelihatan sama dengan makhlukNya bukanlah bertujuan menyamakan diriNya dengan makhluk. Sebenarnya ia bertujuan untuk memudahkan manusia memahami sifat Allah, dengan menggunakan istilah/bahasa yang difahami manusia. Begitu juga dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah yang lain. Al-Qur'an dan As-Sunnah dalam hal ini tidak boleh dilanggar, karena tidak seorang pun yang lebih mengetahui tentang Allah melainkan Allah sendiri dan tidak ada sesudah Allah orang yang lebih mengetahui tentang Allah melainkan RasulNya.

Oleh itu perkara penting yang semestinya dilaksanakan oleh muslim dan mu’min dalam hal berkaitan asma’ dan sifat ini ialah seperti berikut:

i. Ta’wil / Tahrif secara bahasa bererti merubah dan mengganti. Menurut pengertian syar’i bererti: mengubah lafazh Al Asma’ul Husna dan Sifat-sifat-Nya Yang Maha Tinggi atau makna-maknanya. Mengubah maksud asal yang dijelaskan oleh al-Qur’an berkenaan asma’ dan sifat. Contoh Puak Jahmiyyah, yang menta’wilkan ‘istawa’ (bersemayam) dengan istaula (menguasai) dalam firman AllĂ„h yang artinya:
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy.
(Taa-Haa: 5)
Al Yadu (tangan), dengan an ni’mah (nikmat).

ii. Ta’thil – bermaksud menafikan sama sekali akan asma’ dan sifat Allah. Allah tetap dengan demikian walau apa pun sangkaan makhluknya. Ta’thil secara bahasa bererti meniadakan. Adapun menurut pengertian syar’i adalah : Meniadakan sifat-sifat Ilahiyah dari Allah Ta’ala, mengingkari keberadaan sifat-sifat tersebut pada Dzat-Nya, atau mengingkari sebagian darinya. Penolakan terhadap Allah atas kesempurnaan sifat-Nya yang suci, dengan cara meniadakan Asma’ dan Sifat-sifat-Nya, atau sebagian dari-nya, sebagaimana yang dilakukan oleh para penganut paham Jahmiyah dan Mu’tazilah.

iii. Takhyif – bermaksud bertanya pula bagaimana keadaannya Allah yang bernama dan bersifat dengan berbagai-bagai pertanyaan yang tidak kemana-mana. Takyif bererti bertanya dengan kaifa, (bagaimana). Adapun yang dimaksud takyif di sini adalah menentukan dan memastikan hakikat suatu sifat, dengan menetapkan bentuk/keadaan tertentu untuknya. Inilah akidah yang dipegang oleh kaum salaf, sebagaimana dituturkan oleh Imam Malik Rahimahullah Ta’ala ketika ditanya tentang bentuk/keadaan istiwa’, Beliau menjawab :
“Istiwa’ itu telah diketahui (maknanya), bentuk/ keadaannya tidak diketahui, mengimaninya wajib, sedangkan menanyakan (bagaimana)nya (adalah) bid’ah.” [Fatawa Ibnu Taimiyyah, V/144]

Semua sifat Allah menunjukkan makna yang hakiki dan pasti. Kita mengimani dan menetapkan sifat tersebut untuk Allah, akan tetapi kita tidak mengetahui bentuk, keadaan, dan bentuk dari sifat tersebut. Yang wajib adalah meyakini dan menetapkan sifat-sifat tersebut maupun maknanya, secara hakiki, dengan memasrahkan bentuk/keadaannya. Tidak sebagaimana orang-orang yang enggan tahu terhadap makna-maknanya.


iv. Tamsil – bermaksud menyamakan atau menyerupakan Allah dengan apa jua keadaan, bentuk, sifat dan perbuatan yang terdapat pada makhluk ciptaanNya. Allah maha suci dari apa yang kita serupakan. Apa yang tergambar dan terlintas dalam fikiran kita tentang Allah itu bukanlah Allah. Tamtsil artinya tasybih, menyerupakan, yaitu menjadikan sesuatu yang menyerupai Allah Ta’ala dalam sifat-sifat Dzatiyah maupun Fi’liyah-Nya.

Tamtsil ini dibagi menjadi dua, iaitu :


Pertama

Menyerupakan makhluk dengan Pencipta. Misalnya orang-orang Nasrani yang menyerupakan Al-Masih putera Maryam dengan Allah Ta’ala dan orang-orang Yahudi yang menyerupakan ‘Uzair dengan Allah pula. Maha Suci Allah dari itu semua.

Kedua

Menyerupakan Pencipta dengan makhluk. Contohnya adalah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah mempunyai wajah seperti wajah yang dimiliki oleh makhluk, memiliki pendengaran sebagaimana pendengaran yang dimiliki oleh makhluk, dan memiliki tangan sebagaimana tangan yang dimiliki oleh makhluk, serta penyerupaan-penyerupaan lain yang bathil. Maha Suci Allah dari apa yang mereka ucapkan.


Maka barangsiapa yang mengingkari nama-nama Allah dan sifat-sifatNya atau menamakan Allah dan menyifatiNya dengan nama-nama dan sifat-sifat makhlukNya, atau men-ta'wil-kan dari maknanya yang benar, maka dia telah berbicara tentang Allah tanpa ilmu dan berdusta terhadap Allah dan RasulNya.

Pendapat Imam Salaf Mengenai asma’ dan sifat Allah swt.

Syaikh Ibnu Taimiyah berkata: "Kemudian ucapan yang menyeluruh dalam semua bab ini adalah hendaknya Allah itu disifati dengan apa yang Dia sifatkan untuk DiriNya atau yang disifatkan oleh Rasul-Nya, dan dengan apa yang disifatkan oleh As-Sabiqun Al-Awwalun (para generasi pertama), serta tidak melampaui Al-Qur'an dan Al-Hadits.

Imam Ahmad Rahimahullaah berkata, Allah tidak boleh disifati kecuali dengan apa yang disifati olehNya untuk DiriNya atau apa yang disifatkan oleh RasulNya, serta tidak boleh melampaui Al-Qur'an dan Al-Hadits.

Madzhab salaf menyifati Allah dengan apa yang Dia sifatkan untuk DiriNya dan dengan apa yang disifatkan oleh RasulNya, tanpa tahrif dan ta'thil, takyif dan tamtsil. Kita mengetahui bahwa apa yang Allah sifatkan untuk DiriNya adalah haq (benar), tidak mengandung teka-teki dan tidak untuk ditebak.

Sebagaimana yang kita yakini bahwa Allah Subhannahu wa Ta'ala mempunyai Dzat, juga af'al (perbuatan), maka begitu pula Dia benar-benar mempunyai sifat-sifat, tetapi tidak ada satu pun yang menyamaiNya, juga tidak dalam perbuatanNya. Setiap yang mengharuskan adanya kekurangan dan huduts maka Allah Subhannahu wa Ta'ala benar-benar bebas dan Mahasuci dari hal tersebut.


Madzhab salaf adalah antara ta'thil dan tamtsil. Mereka tidak menyamakan atau menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhlukNya. Sebagaimana mereka tidak menyerupakan DzatNya dengan dzat pada makhlukNya. Mereka tidak menafikan apa yang Allah sifatkan untuk diriNya, atau apa yang disifatkan oleh RasulNya. Seandainya mereka menafikan, berarti mereka telah menghilangkan asma' husna dan sifat-sifatNya yang 'ulya (luhur), dan berarti mengubah kalam dari tempat yang sebenarnya, dan berarti pula mengingkari asma' Allah dan ayat-ayatNya.


No comments:

Post a Comment

IKLAN